HAK MEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM,
BUKANLAH SEKEDAR HAK
Oleh : Ariadi Irawan
Negara
kita, Indonesia sudah bukan lagi negara yang dijajah, atau negara yang dikuasai
oleh rezim otoriter, dimana demokrasi dan kebebasan dalam segala hal dibatasi, sehingga
tidak ada ruang bagi kita untuk berdemokrasi, tetapi semenjak reformasi tahun 1998
dan dihilangkannya rezim otoriter yang membuat ruang demokrasi sudah dibuka
dengan sangat lebar, sampai-sampai segala sesuatu itu boleh dilakukan dalam
konteks berdemokrasi. Negara kita, sekarang ini adalah termasuk salah satu dari
beberapa negara di dunia yang menerapkan sistem politik demokrasi. Demokrasi di
Indonesia disebut dengan Demokrasi Pancasila yang mempunyai sebuah slogan yang
cukup singkat, akan tetapi mempunyai makna yang cukup mendalam bagi kita yang
memahaminya. Slogan itu adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bercermin
dari slogan tersebut, dapatlah kita ketahui bahwa demokrasi yang diterapkan di
negara kita ini adalah demokrasi keterwakilan yang merakyat, yang mana salah
satu contoh dari demokrasi keterwakilan ini adalah adanya pesta demokrasi lima
tahunan yang lazim disebut dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Pada Pemilihan Umum
setiap warga negara memiliki hak memilih dan hak dipilih (hak pilih).
Hak
dipilih ini adalah menggunakan hak politiknya untuk maju mencalonkan diri
sebagai orang yang duduk di kursi parlemen yang akan dipilih oleh rakyat dan
pada hakikatnya juga bekerja untuk rakyat secara menyeluruh. Hak dipilih ini
bukanlah sesudah dipilih lalu mereka sibuk
dengan urusan pribadi mereka masing-masing, dan lebih mengutamakan kepentingan
golongan, serta berpikir bagaimana caranya mengembalikan modal mereka ketika
kampanye, tetapi mereka harus memberikan sebuah bukti yang mereka janjikan saat
kampanye dengan selalu menyalurkan aspirasi rakyat, sehingga rakyat tidak
sia-sia memilih mereka.
Sementara,
hak memilih memiliki sebuah arti menggunakan
hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang
akan duduk di kursi parlemen, baik sebagai presiden beserta wakilnya ataupun sebagai
wakil rakyat.
Dalam Undang-undang
Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga negara yang mendasar adalah hak
memilih atau hak untuk memberikan suaranya, disamping hak-hak warga negara
Indonesia yang lainnya. Hak
memilih atau hak untuk memberikan suara ini merupakan hak yang dimiliki oleh setiap
individu / warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan
terhadap hak tersebut telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD
1945-Amandemen) maupun Undang-Undang, yakni UU No. 39 / 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan UU No. 12 / 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan
Politik.
Hak untuk memilih wakil rakyat atau
presiden beserta wakil presiden sepenuhnya adalah hak asasi subyektif dari
setiap individu warga negara. Sehingga penggunaannya sendiri tidak boleh diintervensi
oleh siapapun, baik itu negara maupun masyarakat.
Hak
memilih inilah yang kemudian melahirkan satu tindakan yang lebih berarti. Sebab
yang disebut hak itu berkaitan dengan kesukarelaan atau keinginan sendiri. Saat
pemilu, sejatinya tak sekadar menyalurkan hasrat tentang siapa yang akan
dicoblos, atau hanya sekedar masuk ke bilik suara dan sembarangan saja
mencoblos nama calon dalam daftar pilihan serta tidak peduli mencoblos nama
siapa atau partai apa, bahkan sampai-sampai ada yang dengan sengaja memejamkan
kedua matanya lalu asal mencoblos di kertas suara, tetapi momentum memilih
tersebut harus memerlukan pencermatan tentang siapa yang pantas atau tidak
pantas dipilih. Dengan suara yang satu-satunya kita miliki tersebut, kita seharusnya
menjaga kualitas suara tersebut dengan memilih orang-orang yang benar-benar dianggap
bisa diberi amanah. Tak hanya memilih ala kadarnya atau asal pilih.
Dengan
slogan Satu Orang, Satu Suara, dan Satu Nilai yang memiki arti bahwa rakyat di
Pemilu memiliki kesempatan hanya satu kali per lima tahun untuk menentukan
siapa yang akan menjadi pemimpin atau wakil rakyat. Bila dari Pemilu ke Pemilu
tak juga ada hal yang berubah secara signifikan, maka pemilih sepantasnya
menggeser pilihan-pilihannya. Pemilu merupakan wujud kedaulatan rakyat, yang
hanya datang sekali dalam lima tahun. Dibutuhkan waktu yang sama
untuk menyesali pilihan, bila ternyata yang dicoblos tak memenuhi harapan.
Melihat
pengertian hak memilih tersebut, kita melihat betapa pentingnya kita
menggunakan hak memilih kita dalam pemilihan umum, tetapi seiring dengan perkembangan
jaman dan mulai berkurang antusias rakyat Indonesia yang diakibatkan karena
buruknya kualitas calon-calon yang akan duduk di bangku parlemen membuat rakyat Indonesia memilih jalan pintas
yaitu dengan jalan golput (golongan putih). Golput memang
merupakan masalah klasik dan universal dalam kehidupan politik. Istilah golput
dalam peta politik Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1971, terhadap
mereka yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih. Golput juga dapat diartikan sebagai
menyia-nyiakan hak kita sendiri dalam memilih. Rakyat Indonesia memandang
memilih adalah sebuah hak warga Negara, dan beranggapan bahwa yang namanya hak
itu boleh digunakan dan boleh tidak digunakan. Tapi apa mau dikata, golput
tetap ada dimana-mana. Memilih merupakan hak. Jika dipaksa memilih berarti
bukan hak lagi dong, lagi pula yang tercantum dalam undang-undang adalah hak
bukan kewajiban, juga tidak ada hukum apa pun yang menyebutkan apabila
tidak menggunakan hak memiilihnya dalam Pemilu, akan dikenakan sanksi atau
dikriminalkan oleh negara.
Inilah yang terjadi pada rakyat
negara kita, berbeda dengan rakyat di sebagian negara lainnya bukan saja
memandang partisipasi dalam pemilu sebagai sebuah hak, melainkan juga tanggung
jawab bahkan kewajiban. Di sejumlah negara, kewajiban ikut memilih dalam sebuah
pemilu malah sudah diatur dalam konstitusi dan undang-undang pemilu di Negara mereka.
Banyak negara tersebut menerapkan sanksi hukum bagi warga negaranya yang tidak
ikut memilih, apa pun alasannya.
Bagi
saya tanggung jawab yang ada pada kita saat memilih adalah sebuah tanggung
jawab untuk menentukan arah bangsa Indonesia ini kedepannya. Apakah
kita ingin negara ini maju atau negara ini masih diam ditempat saja tanpa
kemajuan apapun? Marilah kita pikirkan secara seksama, apakah dampak dari
keputusan yang kita buat?. Jika kita memilih untuk golput, kita harus
memikirkan apa yang akan terjadi kemudian? Mungkin alasan kita hanyalah untuk
tidak memberikan kesempatan pada politikus kotor untuk duduk di kursi parlemen yang
empuk!. Ataukah mungkin kita bisa memanfaatkan waktu untuk berbagi amal dari
pada memilih politikus yang tidak jelas makna perjuangannya terhadap rakyat!. Mungkin
juga kita tidak akan merasa terbebani dengan kondisi negara ini kedepan karena
kita tidak terlibat didalamnya!. Mungkin itu adalah alasan kita yang memilih
untuk tidak menggunakan hak memilihnya!.
Sekarang
mari kita lihat kemungkinan lain untuk hal yang mungkin bisa dibilang negatif.
Jika ternyata orang yang pro politikus kotor akhirnya menggunakan hak mereka
sehingga politikus yang mereka usung akhirnya menang, sedangkan politikus yang
bisa saja lebih bersih dari politikus kotor tersebut tidak terpilih karena
kekurangan satu suara yang kita sia-siakan. Bayangkan jika kita tidak
menyia-nyiakan hak memilih kita dan menggunakan hak itu untuk memilih politikus
yang lebih bersih tersebut, bukankah politikus kotor tersebut tidak akan
terpilih. Sayangkan, bila kita menyia-nyiakan hak memilih kita. Atau, Jika negara
ini menjadi rusak karena politikus kotor tersebut, bagaimana reaksi kita? Kita
mungkin akan tidak peduli karena bukan kita yang memilih. Ataukah kita menuntut
politikus tersebut? Hmm, tidak mungkin. Karena mau tidak mau, suka atau tidak
suka pemimpinlah yang akan menentukan segala kebijakan negara yang tentu akan
berpengaruh terhadap setiap orang. Untuk itu, bagi yang tidak menggunakan hak
memilihnya (golput), maka tidak layak bagi yang bersangkutan untuk menuntut
atau mengkritisi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemimpin atau dengan kata
lain bahwa dengan tidak menggunakan hak pilihnya, maka sesungguhnya ia telah
melepaskan haknya untuk ikut dalam kehidupannya. Jadi, Salah siapa kita tidak
memilih politikus yang lebih bersih?
Juga
bagi mereka yang masih saja menyia-nyiakan hak memilihnya, maka sebenarnya
suatu kerugian baginya untuk dapat merubah bangsa ini. Apabila alasan yang
digunakan adalah tidak ada pemimpin atau politisi yang tepat untuk memimpiin
negeri ini, maka perlu dipertanyakan apakah mereka telah melakukan penelitian
yang mendalam sehingga diperoleh kesimpulan tersebut? Karena apabila tidak ada
pemimpin yang tepat untuk dipilih, maka sudah seharusnya Revolusi dilakukan
untuk merubah Indonesia yang lebih baik. Pilihan reformasi bagi Indonesia harus
didukung dengan partisipasi aktif warganya. Jika menginginkan produk hukum dan
kebijakan yang responsif, maka memilih pemimpin dan wakil rakyat yang
prodemokrasi, prokesejahteraan, properbaikan merupakan suatu keharusan. Maka,
menggunakan hak pilih adalah suatu tindakan yang lebih baik dibandingkan tidak
menggunakan hak pilih.
Maka
dari pada itu kita harus mengubah anggapan orang yang menyebutkan hak memilih
itu hanyalah hak biasa menjadi hak memilih bukanlah sekedar hak tetapi menjadi hak
yang memiliki tanggung jawab yang harus kita laksanakan. Juga sekarang marilah
kita pikirkan dampak keputusan jika kita menggunakan hak memilih kita. Jika
ternyata politikus yang kita pilih adalah politikus kotor sehingga merusak
bangsa ini? Apakah kita merasa berdosa telah memilihnya? Hmm, mungkin saja.
Tapi tidakkah kita akan lebih pantas meminta pertanggungjawabannya? Bukankah
seharusnya kita akan terus tergerak untuk mengkontrol kinerjanya karena kita
yang memilihnya?
Intinya,
apabila kita menempatkan hak memilih itu sama dengan hak untuk melaksanakan
ibadah, alangkah dosanya bila kita menyia-nyiakan hak memilih kita. Atau
mungkin, kita bisa menyamakan hak memilih dengan hak untuk makan, hak untuk
bersekolah, atau hak untuk menulis. Mulai sekarang berpikirlah yang positif dan
menghilangkan segala kenegatifan terhadapan pilihan kita. Serta Jangan suka
berburuk sangka terhadap orang yang mencalonkan diri untuk duduk di kursi
parlemen. Sekali lagi saya tegaskan bahwa hak memilih yang diberikan negara
kepada kita adalah hak yang mengandung sebuah tanggung jawab. Disinilah peran
aktif kita setelah memilih politikus yang mencalonkan di parlemen lebih
dituntut, bukan malah tidur tenang setelah mencelupkan jari pada botol tinta
pemilu. Kita dituntut harus lebih memperhatikan kinerja politikus yang kita
pilih agar kebusukannya tidak merusak bangsa ini. Bagaimanapun politikus
tersebut mungkin memiliki hal positif yang bisa membangun bangsa ini, semoga
saja. Dan supaya kita setelah memilih kita tidak hanya diam saja dan
bersantai-santai. Apabila kita hanya diam saja dan bersantai-santai, politikus
yang tadinya bersih pun mungkin bakal tergoda dengan kenikmatan duniawi yang
ditawarkan di gedung parlemen.
Melihat
penyebab munculnya Golput di Indonesia karena kurangnya sosialisasi dan
pemahaman politik yang benar, maka pendidikan politik berpotensi untuk
meningkatkan tingkat antusias rakyat indonesia dalam menghargai hak memilih
yang mereka punya. Kegagalan Indonesia membangun pendidikan politik juga merupakan
kegagalan dari para elite politik dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Pendidikan
politik tersebut adalah pendidikan yang strategis untuk menimbulkan efek Pemilu
yang lebih berkualitas dan mengubah pandangan tentang hak memilih. Untuk itu,
pendidikan politik ini dapat diberikan dengan mengemban amanat rakyat dan tidak
mengorbankan perasaan rakyat. Kita juga seharusnya tidak berada dalam
posisi selalu menerima. Agar supaya suara kita itu betul-betul berharga dan
dapat disumbangkan dan bernilai, tentu diperlukan pengetahuan dan informasi
yang cukup. Kita juga perlu tahu, melalui pelatihan dan diskusi, bacaan dan
siaran media massa seperti koran, majalah, radio, dan televisi, serta memahami
bagaimana cara bekerja negara dan pemerintah dan apa saja hak dan tanggung
jawab kita sebagai warga. Sebagai hasilnya, kita tidak akan terjerumus dalam
tindak anarki dan suara anda tidak terbuang sia-sia. Serta selanjutnya kita
juga tidak hanya diam tetapi kita juga harus mengawasi
pelaksanaannya agar tetap pada jalurnya. Marilah mulai sekarang dan seterusnya,
kita pertanggungjawabkan hak yang telah kita peroleh untuk masa depan Indonesia
yang lebih baik di masa yang akan datang.
No comments:
Post a Comment