Monday, January 26, 2015

ARTIKEL PEMILIHAN UMUM (PEMILU)

HAK MEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM,
BUKANLAH SEKEDAR HAK
Oleh : Ariadi Irawan


Negara kita, Indonesia sudah bukan lagi negara yang dijajah, atau negara yang dikuasai oleh rezim otoriter, dimana demokrasi dan kebebasan dalam segala hal dibatasi, sehingga tidak ada ruang bagi kita untuk berdemokrasi, tetapi semenjak reformasi tahun 1998 dan dihilangkannya rezim otoriter yang membuat ruang demokrasi sudah dibuka dengan sangat lebar, sampai-sampai segala sesuatu itu boleh dilakukan dalam konteks berdemokrasi. Negara kita, sekarang ini adalah termasuk salah satu dari beberapa negara di dunia yang menerapkan sistem politik demokrasi. Demokrasi di Indonesia disebut dengan Demokrasi Pancasila yang mempunyai sebuah slogan yang cukup singkat, akan tetapi mempunyai makna yang cukup mendalam bagi kita yang memahaminya. Slogan itu adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bercermin dari slogan tersebut, dapatlah kita ketahui bahwa demokrasi yang diterapkan di negara kita ini adalah demokrasi keterwakilan yang merakyat, yang mana salah satu contoh dari demokrasi keterwakilan ini adalah adanya pesta demokrasi lima tahunan yang lazim disebut dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Pada Pemilihan Umum setiap warga negara memiliki hak memilih dan hak dipilih (hak pilih).
Hak dipilih ini adalah menggunakan hak politiknya untuk maju mencalonkan diri sebagai orang yang duduk di kursi parlemen yang akan dipilih oleh rakyat dan pada hakikatnya juga bekerja untuk rakyat secara menyeluruh. Hak dipilih ini bukanlah sesudah dipilih lalu mereka sibuk dengan urusan pribadi mereka masing-masing, dan lebih mengutamakan kepentingan golongan, serta berpikir bagaimana caranya mengembalikan modal mereka ketika kampanye, tetapi mereka harus memberikan sebuah bukti yang mereka janjikan saat kampanye dengan selalu menyalurkan aspirasi rakyat, sehingga rakyat tidak sia-sia memilih mereka.
Sementara, hak memilih memiliki sebuah arti menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di kursi parlemen, baik sebagai presiden beserta wakilnya ataupun sebagai wakil rakyat.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga negara yang mendasar adalah hak memilih atau hak untuk memberikan suaranya, disamping hak-hak warga negara Indonesia yang lainnya. Hak memilih atau hak untuk memberikan suara ini merupakan hak yang dimiliki oleh setiap individu / warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak tersebut telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun Undang-Undang, yakni UU No. 39 / 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 / 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
Hak untuk memilih wakil rakyat atau presiden beserta wakil presiden sepenuhnya adalah hak asasi subyektif dari setiap individu warga negara. Sehingga penggunaannya sendiri tidak boleh diintervensi oleh siapapun, baik itu negara maupun masyarakat.
Hak memilih inilah yang kemudian melahirkan satu tindakan yang lebih berarti. Sebab yang disebut hak itu berkaitan dengan kesukarelaan atau keinginan sendiri. Saat pemilu, sejatinya tak sekadar menyalurkan hasrat tentang siapa yang akan dicoblos, atau hanya sekedar masuk ke bilik suara dan sembarangan saja mencoblos nama calon dalam daftar pilihan serta tidak peduli mencoblos nama siapa atau partai apa, bahkan sampai-sampai ada yang dengan sengaja memejamkan kedua matanya lalu asal mencoblos di kertas suara, tetapi momentum memilih tersebut harus memerlukan pencermatan tentang siapa yang pantas atau tidak pantas dipilih. Dengan suara yang satu-satunya kita miliki tersebut, kita seharusnya menjaga kualitas suara tersebut dengan memilih orang-orang yang benar-benar dianggap bisa diberi amanah. Tak hanya memilih ala kadarnya atau asal pilih.
Dengan slogan Satu Orang, Satu Suara, dan Satu Nilai yang memiki arti bahwa rakyat di Pemilu memiliki kesempatan hanya satu kali per lima tahun untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin atau wakil rakyat. Bila dari Pemilu ke Pemilu tak juga ada hal yang berubah secara signifikan, maka pemilih sepantasnya menggeser pilihan-pilihannya. Pemilu merupakan wujud kedaulatan rakyat, yang hanya datang sekali dalam lima tahun. Dibutuhkan waktu yang sama untuk menyesali pilihan, bila ternyata yang dicoblos tak memenuhi harapan.
Melihat pengertian hak memilih tersebut, kita melihat betapa pentingnya kita menggunakan hak memilih kita dalam pemilihan umum, tetapi seiring dengan perkembangan jaman dan mulai berkurang antusias rakyat Indonesia yang diakibatkan karena buruknya kualitas calon-calon yang akan duduk di bangku parlemen  membuat rakyat Indonesia memilih jalan pintas yaitu dengan jalan golput (golongan putih). Golput memang merupakan masalah klasik dan universal dalam kehidupan politik. Istilah golput dalam peta politik Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1971, terhadap mereka yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih. Golput juga dapat diartikan sebagai menyia-nyiakan hak kita sendiri dalam memilih. Rakyat Indonesia memandang memilih adalah sebuah hak warga Negara, dan beranggapan bahwa yang namanya hak itu boleh digunakan dan boleh tidak digunakan. Tapi apa mau dikata, golput tetap ada dimana-mana. Memilih merupakan hak. Jika dipaksa memilih berarti bukan hak lagi dong, lagi pula yang tercantum dalam undang-undang adalah hak bukan kewajiban, juga tidak ada hukum apa pun yang menyebutkan apabila tidak menggunakan hak memiilihnya dalam Pemilu, akan dikenakan sanksi atau dikriminalkan oleh negara. Inilah yang terjadi pada rakyat negara kita, berbeda dengan rakyat di sebagian negara lainnya bukan saja memandang partisipasi dalam pemilu sebagai sebuah hak, melainkan juga tanggung jawab bahkan kewajiban. Di sejumlah negara, kewajiban ikut memilih dalam sebuah pemilu malah sudah diatur dalam konstitusi dan undang-undang pemilu di Negara mereka. Banyak negara tersebut menerapkan sanksi hukum bagi warga negaranya yang tidak ikut memilih, apa pun alasannya.
Bagi saya tanggung jawab yang ada pada kita saat memilih adalah sebuah tanggung jawab untuk menentukan arah bangsa Indonesia ini kedepannya. Apakah kita ingin negara ini maju atau negara ini masih diam ditempat saja tanpa kemajuan apapun? Marilah kita pikirkan secara seksama, apakah dampak dari keputusan yang kita buat?. Jika kita memilih untuk golput, kita harus memikirkan apa yang akan terjadi kemudian? Mungkin alasan kita hanyalah untuk tidak memberikan kesempatan pada politikus kotor untuk duduk di kursi parlemen yang empuk!. Ataukah mungkin kita bisa memanfaatkan waktu untuk berbagi amal dari pada memilih politikus yang tidak jelas makna perjuangannya terhadap rakyat!. Mungkin juga kita tidak akan merasa terbebani dengan kondisi negara ini kedepan karena kita tidak terlibat didalamnya!. Mungkin itu adalah alasan kita yang memilih untuk tidak menggunakan hak memilihnya!.
Sekarang mari kita lihat kemungkinan lain untuk hal yang mungkin bisa dibilang negatif. Jika ternyata orang yang pro politikus kotor akhirnya menggunakan hak mereka sehingga politikus yang mereka usung akhirnya menang, sedangkan politikus yang bisa saja lebih bersih dari politikus kotor tersebut tidak terpilih karena kekurangan satu suara yang kita sia-siakan. Bayangkan jika kita tidak menyia-nyiakan hak memilih kita dan menggunakan hak itu untuk memilih politikus yang lebih bersih tersebut, bukankah politikus kotor tersebut tidak akan terpilih. Sayangkan, bila kita menyia-nyiakan hak memilih kita. Atau, Jika negara ini menjadi rusak karena politikus kotor tersebut, bagaimana reaksi kita? Kita mungkin akan tidak peduli karena bukan kita yang memilih. Ataukah kita menuntut politikus tersebut? Hmm, tidak mungkin. Karena mau tidak mau, suka atau tidak suka pemimpinlah yang akan menentukan segala kebijakan negara yang tentu akan berpengaruh terhadap setiap orang. Untuk itu, bagi yang tidak menggunakan hak memilihnya (golput), maka tidak layak bagi yang bersangkutan untuk menuntut atau mengkritisi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemimpin atau dengan kata lain bahwa dengan tidak menggunakan hak pilihnya, maka sesungguhnya ia telah melepaskan haknya untuk ikut dalam kehidupannya. Jadi, Salah siapa kita tidak memilih politikus yang lebih bersih?
Juga bagi mereka yang masih saja menyia-nyiakan hak memilihnya, maka sebenarnya suatu kerugian baginya untuk dapat merubah bangsa ini. Apabila alasan yang digunakan adalah tidak ada pemimpin atau politisi yang tepat untuk memimpiin negeri ini, maka perlu dipertanyakan apakah mereka telah melakukan penelitian yang mendalam sehingga diperoleh kesimpulan tersebut? Karena apabila tidak ada pemimpin yang tepat untuk dipilih, maka sudah seharusnya Revolusi dilakukan untuk merubah Indonesia yang lebih baik. Pilihan reformasi bagi Indonesia harus didukung dengan partisipasi aktif warganya. Jika menginginkan produk hukum dan kebijakan yang responsif, maka memilih pemimpin dan wakil rakyat yang prodemokrasi, prokesejahteraan, properbaikan merupakan suatu keharusan. Maka, menggunakan hak pilih adalah suatu tindakan yang lebih baik dibandingkan tidak menggunakan hak pilih. 
Maka dari pada itu kita harus mengubah anggapan orang yang menyebutkan hak memilih itu hanyalah hak biasa menjadi hak memilih bukanlah sekedar hak tetapi menjadi hak yang memiliki tanggung jawab yang harus kita laksanakan. Juga sekarang marilah kita pikirkan dampak keputusan jika kita menggunakan hak memilih kita. Jika ternyata politikus yang kita pilih adalah politikus kotor sehingga merusak bangsa ini? Apakah kita merasa berdosa telah memilihnya? Hmm, mungkin saja. Tapi tidakkah kita akan lebih pantas meminta pertanggungjawabannya? Bukankah seharusnya kita akan terus tergerak untuk mengkontrol kinerjanya karena kita yang memilihnya?
Intinya, apabila kita menempatkan hak memilih itu sama dengan hak untuk melaksanakan ibadah, alangkah dosanya bila kita menyia-nyiakan hak memilih kita. Atau mungkin, kita bisa menyamakan hak memilih dengan hak untuk makan, hak untuk bersekolah, atau hak untuk menulis. Mulai sekarang berpikirlah yang positif dan menghilangkan segala kenegatifan terhadapan pilihan kita. Serta Jangan suka berburuk sangka terhadap orang yang mencalonkan diri untuk duduk di kursi parlemen. Sekali lagi saya tegaskan bahwa hak memilih yang diberikan negara kepada kita adalah hak yang mengandung sebuah tanggung jawab. Disinilah peran aktif kita setelah memilih politikus yang mencalonkan di parlemen lebih dituntut, bukan malah tidur tenang setelah mencelupkan jari pada botol tinta pemilu. Kita dituntut harus lebih memperhatikan kinerja politikus yang kita pilih agar kebusukannya tidak merusak bangsa ini. Bagaimanapun politikus tersebut mungkin memiliki hal positif yang bisa membangun bangsa ini, semoga saja. Dan supaya kita setelah memilih kita tidak hanya diam saja dan bersantai-santai. Apabila kita hanya diam saja dan bersantai-santai, politikus yang tadinya bersih pun mungkin bakal tergoda dengan kenikmatan duniawi yang ditawarkan di gedung parlemen.

Melihat penyebab munculnya Golput di Indonesia karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman politik yang benar, maka pendidikan politik berpotensi untuk meningkatkan tingkat antusias rakyat indonesia dalam menghargai hak memilih yang mereka punya. Kegagalan Indonesia membangun pendidikan politik juga merupakan kegagalan dari para elite politik dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Pendidikan politik tersebut adalah pendidikan yang strategis untuk menimbulkan efek Pemilu yang lebih berkualitas dan mengubah pandangan tentang hak memilih. Untuk itu, pendidikan politik ini dapat diberikan dengan mengemban amanat rakyat dan tidak mengorbankan perasaan rakyat. Kita juga seharusnya tidak berada dalam posisi selalu menerima. Agar supaya suara kita itu betul-betul berharga dan dapat disumbangkan dan bernilai, tentu diperlukan pengetahuan dan informasi yang cukup. Kita juga perlu tahu, melalui pelatihan dan diskusi, bacaan dan siaran media massa seperti koran, majalah, radio, dan televisi, serta memahami bagaimana cara bekerja negara dan pemerintah dan apa saja hak dan tanggung jawab kita sebagai warga. Sebagai hasilnya, kita tidak akan terjerumus dalam tindak anarki dan suara anda tidak terbuang sia-sia. Serta selanjutnya kita juga tidak hanya diam tetapi kita juga harus mengawasi pelaksanaannya agar tetap pada jalurnya. Marilah mulai sekarang dan seterusnya, kita pertanggungjawabkan hak yang telah kita peroleh untuk masa depan Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.

No comments:

Post a Comment